Oleh Mumtaazun Fadli
“Asu
Kowe! Celeng tenan Kowe! Jangkrik! Djancuk!”.
Apa
yang kita rasakan jika mendengar perkataan-perkataan seperti di atas? Bagaimana
pula jika perkataan-perkataan ini dilontarkan oleh seorang mahasiswa? Bahkan
mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri Islam? Sudah barang tentu respon yang datang
adalah ungkapan “Mahasiswa macam apa,
perkataaanya kotor dan tidak sopan!”
Mahasiswa sudah sepatutnya mengedepankan pikiran dan hatinya ketika
hendak bertindak dan berkata. Mulai dari kelakuan, pergaulan dengan orang lain dan
apa yang dibicarakan haruslah menunjukkan bahwa ia adalah insan yang memiliki
wawasan intelektual dan menjadi teladan bagi masyarakat. Hal ini dikarenakan di
Perguruan Tinggi mahasiswa mendapatkan berbagai ilmu baru yang belum didapatkan
di tingkat pendidikan sebelumnya. Oleh karena itu, haruslah ada yang membedakan
antara mahasiswa dengan pemuda seumuran lainya. Baik dari intelektualitasnya,
perilakunya, gaya berbicaranya, dan lain sebagainya. Namun di sisi lain,
sebagai agent of change, justru
masih kerap ditemukan hal-hal yang sangat tidak pantas ada pada diri kaum
terpelajar ini. Berkata kotor, jorok, sumpah serapah, dan perkataan lain yang pada
intinya adalah sebuah umpatan masih menjadi penghias dalam perkataan keseharian
mereka. Sebuah umpatan memang menjadi sebuah bahasa tersendiri dalam
berkomunikasi yang kerap ditunjukkan untuk megungkapkan ekspresi tertentu.
Kekesalan, kekecewaan atau bahkan kemarahan sering menjadi pemicu kenapa seseorang
bisa mengeluarkan kata-kata kotor.
Sering sekali kita melihat tayangan berita di televisi, para pelajar di
Indonesia melakukan aksi tawuran. Salah satu pemicu utamanya adalah mungkin
akibbat olok-lokan, saling mengumpat, yang intinya adalah perang mulut. Hal
serupa juga terjadi di kalangan mahasiswa. Meskipun sudah menjadi mahasiswa,
tidak lantas tradisi tawuran bisa hilang begitu saja. Banyak pula kerusuhan
yang terjadi di kalangan mahasiswa, akhirnya bentrok pun kerap menjadi sajian
penutup di dalam aksi turun jalan para mahasiswa.
Dalam sebuah jurnal penelitian dijelaskan, kata umpatan merupakan salah
satu bentuk dari kata afektif, yakni suatu kata yang selalu berhubungan dengan
penuturannya dan apabila dilafalkan akan mengandung nilai rasa, emosi dengan
cara melampiaskan perasaan dalam bentuk ucapan atau ujaran. Pelampiasan
perasaan ini bisa dilontarkan kepada orang lain atau kepada dirinya sendiri.[1]
Di masyarakat kita ini, benyak jenis umpatan yang bermunculan. Dan jenis
kata umpatan yang paling sering dilafalkan adalah dengan memakai nama-nama
hewan. Salah satunya kata “Anjing” atau masyarakat Jawa menyebutnya dengan Asu,
babi atau celeng adalah dua hewan yang menjadi trendmark dalam umpatan
keseharian. Namun di luar itu, masih banyak kata-kata kotor nan jorok yang
kerap dijadikan umpatan.
Anjing dan celeng adalah binatang yang menurut agama Islam adalah binatang
yang haram untuk dikonsumsi. Kita juga pasti akan merasa jijik dengan gaya
hidup seekor anjing dan celeng yang serba jorok. Bahkan air liur hewan-hewan
ini saja sudah dihukumi najis paling berat. Jadi dengan semua hal menjijikan
yang ada pada hewan-hewan tersebut apakah pantas dilontarkan kepada orang lain?
Tentulah jika ada kejadian seseorang mengumpat di depan orang lain dengan kata
anjing atau celeng, pasti akan menimbulkan respon yang tidak baik. Perkelahian
dan permusuhan bisa saja terjadi setelahnya.
Kata-kata
umpatan ini biasanya diucapkan oleh masyarakat yang tidak berpendidikan atau
masyarakat yang berpendidikan rendah serta tidak memiliki pengetahuan terhadap agama.
Sebab setiap instansi pendidikan pasti mendidik siswanya untuk berkata baik dan
sopan. Begitu pula dengan agama, pasti mengajarkan kepada umatnya untuk berlaku
baik dan menjaga lisan agar tidak menyakiti orang lain. Mahasiswa sebagai
manusia berintelektual progresif yang nantinya juga akan melanjutkan estafet
dalam mendidik generasi selanjutnya, pantaskah jika dalam perkataanya banyak
mengandung umpatan kotor?
[1] Rachmad Rizky Putra. 2013. Bentuk
Dan Fungsi Kata Umpatan Pada Komunikasi Informal Di Kalangan Sma Negeri 3
Surabaya:Kajian Sosiolinguistik. Jurnal Skriptorium UNAIR Surabaya.