Zona untuk mengenalku, Zona Dakwahku

Sabtu, 07 Juni 2014

Mahasiswa dan “Hewan-hewan” di sekelilingnya


Oleh Mumtaazun Fadli

“Asu Kowe! Celeng tenan Kowe! Jangkrik! Djancuk!”.
Apa yang kita rasakan jika mendengar perkataan-perkataan seperti di atas? Bagaimana pula jika perkataan-perkataan ini dilontarkan oleh seorang mahasiswa? Bahkan mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri Islam? Sudah barang tentu respon yang datang adalah ungkapan “Mahasiswa macam apa, perkataaanya kotor dan tidak sopan!”
Mahasiswa sudah sepatutnya mengedepankan pikiran dan hatinya ketika hendak bertindak dan berkata. Mulai dari kelakuan, pergaulan dengan orang lain dan apa yang dibicarakan haruslah menunjukkan bahwa ia adalah insan yang memiliki wawasan intelektual dan menjadi teladan bagi masyarakat. Hal ini dikarenakan di Perguruan Tinggi mahasiswa mendapatkan berbagai ilmu baru yang belum didapatkan di tingkat pendidikan sebelumnya. Oleh karena itu, haruslah ada yang membedakan antara mahasiswa dengan pemuda seumuran lainya. Baik dari intelektualitasnya, perilakunya, gaya berbicaranya, dan lain sebagainya. Namun di sisi lain, sebagai agent of change,  justru masih kerap ditemukan hal-hal yang sangat tidak pantas ada pada diri kaum terpelajar ini. Berkata kotor, jorok, sumpah serapah, dan perkataan lain yang pada intinya adalah sebuah umpatan masih menjadi penghias dalam perkataan keseharian mereka. Sebuah umpatan memang menjadi sebuah bahasa tersendiri dalam berkomunikasi yang kerap ditunjukkan untuk megungkapkan ekspresi tertentu. Kekesalan, kekecewaan atau bahkan kemarahan sering menjadi pemicu kenapa seseorang bisa mengeluarkan kata-kata kotor.
Sering sekali kita melihat tayangan berita di televisi, para pelajar di Indonesia melakukan aksi tawuran. Salah satu pemicu utamanya adalah mungkin akibbat olok-lokan, saling mengumpat, yang intinya adalah perang mulut. Hal serupa juga terjadi di kalangan mahasiswa. Meskipun sudah menjadi mahasiswa, tidak lantas tradisi tawuran bisa hilang begitu saja. Banyak pula kerusuhan yang terjadi di kalangan mahasiswa, akhirnya bentrok pun kerap menjadi sajian penutup di dalam aksi turun jalan para mahasiswa.
Dalam sebuah jurnal penelitian dijelaskan, kata umpatan merupakan salah satu bentuk dari kata afektif, yakni suatu kata yang selalu berhubungan dengan penuturannya dan apabila dilafalkan akan mengandung nilai rasa, emosi dengan cara melampiaskan perasaan dalam bentuk ucapan atau ujaran. Pelampiasan perasaan ini bisa dilontarkan kepada orang lain atau kepada dirinya sendiri.[1]
Di masyarakat kita ini, benyak jenis umpatan yang bermunculan. Dan jenis kata umpatan yang paling sering dilafalkan adalah dengan memakai nama-nama hewan. Salah satunya kata “Anjing” atau masyarakat Jawa menyebutnya dengan Asu, babi atau celeng adalah dua hewan yang menjadi trendmark dalam umpatan keseharian. Namun di luar itu, masih banyak kata-kata kotor nan jorok yang kerap dijadikan umpatan.
Anjing dan celeng adalah binatang yang menurut agama Islam adalah binatang yang haram untuk dikonsumsi. Kita juga pasti akan merasa jijik dengan gaya hidup seekor anjing dan celeng yang serba jorok. Bahkan air liur hewan-hewan ini saja sudah dihukumi najis paling berat. Jadi dengan semua hal menjijikan yang ada pada hewan-hewan tersebut apakah pantas dilontarkan kepada orang lain? Tentulah jika ada kejadian seseorang mengumpat di depan orang lain dengan kata anjing atau celeng, pasti akan menimbulkan respon yang tidak baik. Perkelahian dan permusuhan bisa saja terjadi setelahnya.
            Kata-kata umpatan ini biasanya diucapkan oleh masyarakat yang tidak berpendidikan atau masyarakat yang berpendidikan rendah serta tidak memiliki pengetahuan terhadap agama. Sebab setiap instansi pendidikan pasti mendidik siswanya untuk berkata baik dan sopan. Begitu pula dengan agama, pasti mengajarkan kepada umatnya untuk berlaku baik dan menjaga lisan agar tidak menyakiti orang lain. Mahasiswa sebagai manusia berintelektual progresif yang nantinya juga akan melanjutkan estafet dalam mendidik generasi selanjutnya, pantaskah jika dalam perkataanya banyak mengandung umpatan kotor?  
             





[1] Rachmad Rizky Putra. 2013. Bentuk Dan Fungsi Kata Umpatan Pada Komunikasi Informal Di Kalangan Sma Negeri 3 Surabaya:Kajian Sosiolinguistik. Jurnal Skriptorium UNAIR Surabaya.

Search

Bookmark Us